Cerita Singkat Untuk Cinta yang Tersimpan (True Story) Part 1
Semalam aku bermimpi tentang Reihan. Entah berapa kali dia menghuni alam bawah sadarku. Pernah aku melupakan semua tentang dia sampai ada orang yang mengisi hari-hariku namun tiba-tiba kenangan masa SMA kembali lagi mengusik setiap detik di hidupku. Berulang kali kata seandainya keluar dari bibirku. Ingin kutulis ulang takdir karena aku ingin kembali ke masa lalu disaat aku berada di sisi Reihan.
*****
Sembilan tahun aku memendam semuanya. Tentang cinta tak berkesudahan dan apa sebenarnya cinta tanpa bersentuhan. Kini setelah hati begitu mantap, aku ingin membagi semuanya. Biasanya setelah aku menuliskan segala apa yang menjadi ganjalan dalam hati, aku mampu untuk lebih ikhlas melepas semuanya. Kisah masa lalu itu begitu melemahkanku bahkan aku tak mampu sekedar menuliskan namamu. Seluruh jariku seakan lemah tak bersyaraf, langit-langit mulutku terasa pahit, apalagi mata, rasanya tak bisa menahan cucuran air mata. Bayangkan, hanya menulis nama. Bagaimana kalau bercerita?
Waktu terus berlalu. Aku dan kamu berjalan di kehidupan masing-masing hingga aku berhasil menyingkirkan bayang dirimu. Namun tiba-tiba saja masa lalu itu kembali lagi. Semua yang sudah aku lupakan mendadak menghantuiku, aku sudah melangkah maju, sangat jauh tapi tiba-tiba saja ingin kuciptakan mesin waktu lalu memperbaiki semuanya, melenyapkan yang telah ada.
Salahkah aku jika ingin kembali ke masa itu?
Kukira awalnya pertemuan di masa putih abu-abu hanya cinta pura-pura ternyata aku larut begitu dalam hingga sembilan tahun lamanya namamu tetap tersimpan rapi di sanubari. Mungkin nanti jika ragaku telah kembali ke dalam tanah dan roh ku melayang di udara, kaulah yang pertama kali aku cari untuk sekedar melepas rindu.
Cinta tak harus memiliki hanyalah dalih bagi cinta bertepuk sebelah tangan. Bagiku cinta pasti ingin memiliki. Paling tidak aku sudah pernah memiliki meski hanya hati yang bertaut. Tak butuh kontak fisik untuk membuat cinta itu mengakar kuat karena dengan saling pandang dan berdekatan saja sudah membuat jantungku bergetar hebat.
Aku sudah pergi, melangkah jauh darimu, meneruskan hidup tapi izinkan aku menoleh kembali. Aku ingin memastikan lagi kamu benar-benar yang aku cintai lalu aku akan melepasmu dengan ikhlas, merelakan semua yang mengganjal sembilan tahun ini.
****
Sumenep, Januari 2009
Ujian semester satu.
“Permisi,” sapa suara laki-laki di sebelahku. Aku sempat terpana beberapa detik. Ganteng bener, hidungnya mancung banget, mirip-mirip Shahrukh Khan gitu.
“Mbak?”
“Eh, iya, silakan, dik, mas, eh, aduh siapa sih?” ujarku salting.
“Reihan.”
“Dania.”
Reihan duduk di sebelahku. Ini benar nyata, dia duduk sedekat ini denganku padahal sebelumnya hanya memandangi dari jauh dan jantungku kenapa jadi berdebar seperti ini? Aku sampai lupa akan belajar apa dan harus menjawab apa nanti ujian.
Adik kelas tampan itu begitu dekat sekarang, hingga aku tak mampu banyak bicara. Aku sangat gembira bisa sebangku dengan Reihan. Dia membuatku semangat memulai hari esok padahal biasanya aku sangat membenci ujian, lebih tepatnya takut mendapat nilai jelek tapi juga malas belajar.
****
Suatu siang di tahun 2009
Aku dan Reihan tak sempat ngobrol lama karena dia datang lima menit sebelum ujian karena dia bangun siang. Dia sangat menyukai sepakbola, dia akan menyisihkan waktunya dalam keadaan ujian sekalipun demi menonton pertandingan favoritnya. Istirahatpun begitu, dia dan aku sibuk dengan teman masing-masing.
Sampai pada saat pulang ujian, aku bingung bagaimana harus pulang. Papaku rapat, becak langgananku juga belum datang, jalan kaki juga malas. Aku berdiri saja di depan sekolah siapa tahu ada teman yang mengantarku pulang.
Beberapa menit kemudian sepeda motor matic berwarna merah berhenti di depanku. Aku terpana, Reihan menawarkan tumpangan. Mataku bagai melihat pangeran berkuda dan berpedang panjang menjemputku.
“Hai,” aku hanya bisa mengucapkan kata itu. Lidahku kelu. Dewa asmara tak kasat mata pasti sedang menghunuskan panahnya tepat di hati.
“Kenapa belum pulang?” tanyanya.
“Ngga dijemput, bentar lagi mau jalan kaki aja.”
“Jangan. Anterin ya?”
Aku tersenyum, antara senang dan bingung. Inginku lompat saking senangnya tapi di sini banyak orang sepulang sekolah.
“Ayo.”
Tanpa sadar aku lompat ke boncengan motornya. Saking senangnya aku sampai hampir jatuh ke samping. Refleks, aku memeluk pinggangnya agar tidak jatuh. Hm, wanginya parfum segar khas laki-laki tercium di bawah cuping hidungku. Harumnya begitu menghanyutkan dan punggungnya, pinggangnya yang aku peluk terasa keras dan mantap. Sepertinya dia rajin olahraga. Tuhan, aku ingin lebih lama di posisi seperti ini.
“Yah, maaf, aku ngga sengaja, takut jatuh.”
“Iya, Mbak Dania. Santai aja,” ujarnya sembari tersenyum tipis.
“Panggil Dania aja, biar lebih akrab.”
Aku membalas senyumannya. Dalam hati aku berharap kalau detak jantungku tidak bisa ia dengar. Dan rasanya aku ingin perjalanan dari sekolah ke rumah bisa lebih panjang agar aku bisa lebih lama sedekat ini dengan Reihan.
****
Berawal dari boncengan sepulang sekolah, benih-benih cinta itu muncul dan berkembang indah di sanubari. Singkat cerita malam minggu itu aku tidak bisa tidur, sambil menunggu pagi aku teleponan dengan Reihan.
“Hanhan lagi ngapain?” ujarku dari telepon.
“Duduk di luar rumah, ngeliat langit, penuh bintang-bintang.”
“Udah malam loh, nanti masuk angin.”
“Kan kamu yang ngerokin?”
Aku berdehem, dia memang selalu membuatku tersenyum, mau bilang apa juga aku senyum.
“Nia?”
“eh, iya, kenapa aku? Emang aku tukang pijit?”
“Nggak. Kamu pacarku.”
“Apa?” tanyaku dengan nada bingung sekaligus senang.
“Jadi pacarku. Kamu pasti mau kan?” desaknya.
“Mau,” ujarku tanpa pikir panjang.
*****
Sejak Reihan jadi pacarku, hari-hari sekolah menjadi indah, aku semangat berangkat sekolah meskipun bukan dengan Reihan tapi dengan papa sekalian berangkat ke kantor. Pulang barengan saja sudah senang. Makan di kantin, ketemuan di perpustakaan, duduk berdua di lapangan basket, menjadi suporter pertandingan sepak bola Reihan sudah jadi romantisme rutin anak SMA.
Reihan adalah salah satu cowok populer di SMA. Banyak yang heran kenapa aku yang biasa-biasa saja ini bisa pacaran dengan cowok seganteng Reihan. Namun Reihan selalu bilang berbeda seperti yang orang lain katakan.
“Siapa bilang kamu nggak cantik?” ujarnya suatu siang di depan perpustakaan.
“Banyak. Mereka heran, kenapa cowok seganteng kamu mau sama aku.”
“Kamu cantik tahu, aku bisa ngelihat itu. Aku malah yang minder pacaran sama kamu,” ujar Reihan sambil tersenyum manis sekali.
“Kamu memang selalu bisa bikin aku senyum,” ujarku tersipu kemudian Reihan memberikan sebuah novel tanpa kertas kado. Buatku nggak penting kertas kado karena nantinya juga dibuang.
“Selamat Malam Kabutku Sayang?” ujarku.
“Iya, semoga kamu suka ya. Aku tahu kamu suka novel.”
“Makasih sayang,” aku mendekap novelnya erat. (Sampai sekarang novel ini masih ada.)
*****
Satu hal yang sulit aku lupakan dari Reihan yaitu kejadian malam minggu. Aku malah pulang duluan saat Reihan perform acara band class meeting. Reihan marah, dia kira aku nggak peduli sama dia. Berulang kali aku sms untuk minta maaf tapi dicuekin. Namun malamnya sekitar jam sembilan tiba-tiba Reihan telepon aku.
“Halo, Rei kamu kemana aja? Kenapa nggak balas sms aku?”
“Liat keluar jendela teras rumah,” ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Bergegas aku lari kecil kesana lalu menyibakkan gorden. Reihan berdiri di seberang rumah sambil menelepon lalu melambaikan tangannya ke arahku.
“Kamu ngapain? Kenapa nggak masuk?” tanyaku dari telepon.
“Sudah malam, aku nggak mau kamu dimarahin, papa kamu galak. Sudah dulu ya, yang penting aku sudah liat kamu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Aku melambaikan tangan padanya. Rasanya berat dan berdebar meski tidak berdekatan. Indah sekali.
Namun kebahagiaan itu mendadak sirna karena tiba-tiba saja Reihan mengucapkan kata putus dengan alasan dilarang pacaran oleh ibunya. Waktu itu rasanya sangat sedih, aku masih ingat saat itu aku langsung meneteskan air mata bahkan sembilan tahun berlalu, aku masih ingat rasanya. Harusnya dia bicarakan jalan tengahnya karena rasanya nggak adil untukku. Aku saat itu berada di puncak rasa sayang lalu tiba-tiba dia pergi padahal aku sudah merencanakan hal yang indah bersamanya. Aku ingin selalu bersama Reihan.
Sejak itu rasanya berat menginjakkan kaki ke sekolah. Saat itu aku tengah persiapan ujian nasional, parahnya aku sama sekali nggak bisa konsentrasi. Pikiranku hanya berisi Reihan saja bahkan aku menangis setiap malam sambil mendengarkan lagu-lagu patah hati.
****
Sekali lagi, aku memandang jauh ke depan mengikuti kemana bus ini membawaku jauh dari kota kecil tercinta ini sambil berpikir apa yang sebenarnya terjadi. Semua bagai mimpi. Akhirnya aku mampu membahagiakan orang tuaku dengan diterima di universitas negeri namun aku harus meninggalkan bagian terbesar dalam hidup di kota ini. Rasanya berat, cinta tertinggal di sini seakan separuh nyawaku melekat disini.
Tidak ada yang sia-sia di dunia ini termasuk pertemuanku dan jalinan singkatku dengan Reihan, adik kelas yang membuatku jatuh cinta sekaligus patah hati dalam satu waktu. Aku yakin pasti ada arti dibalik asmara itu meski hanya sekejap saja.
“Dania, kamu ngelamun aja!” seru Dara yang duduk di sebelahku.
“Biarin, bukan aku juga yang nyetir bus ini” ujarku datar.
“Eh, barusan aku dapat kabar dari sepupuku kalau Reihan sebenarnya ngga pacaran sama anak kelas satu itu.”
“Serius?” ujarku dengan mata berbinar.
“Yang aku dengar begitu, pas kamu benar-benar sudah lulus sekolah, dia langsung menjauh gituloh sama itu siapa namanya, aduh, lupa. Jelek anaknya, kamu lebih cantik.”
“Aku ngga bisa berbuat apa-apa, Ra. Aku sudah jauh, keberadaannya juga bisa tergantikan nanti, tapi entahlah, kenangan itu sudah mengakar kuat” aku meneteskan air mata lagi.
“Bisa secinta itu ya, kamu?”
“Bisa. Aku juga nggak tau kenapa, rasanya kok aku sudah kebal sama orang lain. Ada beberapa yang mendekati bahkan nembak aku dengan romantis tapi aku tetap sulit untuk pindah.”
“Iya, cinta memang ngga butuh alasan tapi cinta harus membuatmu bahagia, senang, dan lebih baik bukan malah membuatmu terpuruk seperti ini. Aku juga nggak tega, kamu bisa mendapat yang lebih dari dia.” Dara mencoba menghiburku. Percuma, Ra.
“Ada yang lebih baik tapi sulit membuatku benar-benar jatuh terlalu dalam. Hanya Reihan yang mampu, dia sudah merasuk dalam jiwa, sulit untuk menghapusnya.”
Tanpa sadar air mataku bercucuran lagi. Aku hanya berpikir salahku apa hingga dia meninggalkan aku seperti ini. Dia nggak pernah mengerti bagaimana aku terluka dan dia tega menambah luka itu dengan punya pacar lagi padahal dia bilang saat itu kalau orang tuanya melarang untuk pacaran. Apa sih yang ada di pikiranmu, Rei? Apa kamu pikir hatiku dari baja? Kamu kira aku kebal akan rasa sakit ini.
“Dan, Dania?”
Dara mengguncangkan bahuku untuk menyadarkanku karena aku sedang menutup wajahku. Aku sedang menangis.
“Sudah berapa bulan kamu nangis terus? Cukup, kamu pikir aku ngga sedih liat kamu kayak gini? Aku sahabatmu sejak bayi, kita tumbuh bareng, kamu harus bahagia, ngga boleh sedih terus. Kamu cantik, kamu pasti bisa dapat yang jauh lebih baik.”
“Bisa namun Reihan pasti mendapat tempat. Hatiku cukup besar untuk menampungnya. Aku ingin membuatnya abadi. Mungkin kalau aku pikun baru aku bisa melupakan dia.”
Sejak itu aku hanya menjalani hidup seperti apa adanya. Ada seseorang yang mengisi hatiku namun tidak mampu membuat jantungku berdebar-debar karena jatuh cinta. Aku memutuskan menjalani hidup bersamanya karena kupikir Reihan tidak akan kembali. Namun ternyata aku salah, Reihan berhasil kutemukan lalu aku sering mengontaknya karena rindu. Aku masih mencintainya sampai cerita ini ditulis tapi bukan cinta untuk memiliki, hanya cinta saja, masih menjalin komunikasi saja sudah cukup dan aku bisa tahu sedikit tentang hidupnya melalui status-status yang ia tulis.
Andai saja.... sudahlah, siapapun tak bisa melawan takdir. Reihan, aku tak akan melupakanmu.
.Sampai Jumpa di Part 2 .
