Untukmu yang Bukan Kekasihku
Aku rindu dengannya yang entah kemana. Di sini, di pantai ini kenangan indah pernah kurajut bersama dirinya. Dia bukan kekasihku tapi berani mencium bibirku. Entahlah, saat itu aku mungkin saja tertipu nafsu. Kalau dipikir-pikir aku juga salah, aku mau saja terbawa suasana saat berada di dekatnya. Sialnya, setelah pertemuan terakhir di Stasiun Malang Kota Baru ia tidak pernah menghubungiku lagi. Akupun berusaha menghubunginya namun tak pernah dihiraukan. Dan tiba-tiba saja dia menghubungiku karena ingin bertemu di tempat kenangan. Perasaanku campur aduk, antara senang dan bingung. Entahlah, apapun yang terjadi terjadilah. Sembari menunggu, sedikit kuulas kembali pertemuan dengannya dalam angan.
Sebulan lalu di Malang,
Kala itu, di sudut kota yang ramai tapi nyaman aku bertemu dengan pria tampan menawan hati . Dia seorang pelukis berasal dari ibukota, dia hendak mencari inspirasi untuk bahan lukisannya yang baru. Namanya Arya, kami berjumpa di Alun-alun Batu saat ia butuh pemandu wisata keliling Kota Apel ini. Berawal dari perjumpaan itu kami menjadi dekat, kesamaan tempat asal menjadikan kami cepat akrab. Pekerjaanku jadi terasa menyenangkan karena dia teman yang membuatku nyaman. Namun kebersamaan itu sudah melewati batas antara pemandu wisata dan wisatawan, kami dekat layaknya sepasang kekasih.
“Kamu wanita yang spesial. Aku ingin kau menjadi model lukisanku,” ujarnya saat kami berdua berada di Pantai Modangan yang masih alami, belum banyak wisatawan yang tahu.Pantai ini terletak di enam puluh lima kilo meter sebelah barat daya Kota Malang. Rasa lelah akibat berjibaku dengan jalan macadam mendadak hilang setelah menginjakkan kaki di pasir yang masih bersih berhias bukit batu karang kokoh, air biru bening dengan ombak besar mengulung-gulung seolah merayu untuk mencelupkan diri ke dalam air. Semoga saja pantai ini senantiasa alami tanpa ada wisatawan lain yang mencemarinya.
“Model lukisan?” tanyaku. “Apakah aku cukup cantik untuk menjadi modelmu?” lanjutku.
“Kau layak menjadi model dari Arya Penangsang karena kamu begitu menawan bagai awan yang putih dan lembut,” rayunya.
“Nggak usah sok puitis, deh!” ujarku sambil tertawa renyah. Akupun berlari ke pinggir pantai, bermain ombak. Kubiarkan Arya mempersiapkan peralatan lukisnya. Semilir angin pantai menyibakkan rambut panjangku, buih ombak menjilat kaki telanjangku, mata ini memperhatikan gerak gerik Arya yang baru saja meletakkan kursi di depan kanvas. Aku berpikir tenang perasaanku padanya, jujur aku mengakui kalau jantungku berdebar saat berada di sampingnya. Dia melambungkan perasaanku dengan cara yang lembut. Salahkah bila aku jatuh cinta padanya?
“Winar!” panggil Arya. Aku menoleh, dia langsung menekan tombol kamera polaroidnya. Rupanya dia ingin memotret ekspresi alami dariku. Aku tersenyum tipis memandangi tingkahnya sambil terus berlarian ke tengah pantai.
Beberapa menit kemudian, kupikir Arya sudah menyelesaikan lukisannya. Rasanya sepi bermain sendiri di pantai.
“Arya ayo main!” ujarku sambil menarik tangannya menuju pantai. Alat lukisnya jatuh ke tanah tapi dia diam saja dan tetap mengikuti bermain air ke tengah. Kami begandengan tangan menikmati rasa yang entah apa namanya.
******
Masih segar dalam ingatanku saat dia memelukku, mengangkat tubuhku saat akan tertabrak ombak lalu jatuh bersama, jilatan ombak membasahi tubuh kami, membawa kami berdua ke dalam suasana romantis hingga aku terbawa, aku diam saja saat bibirnya menempel di bibirku. Akupun tidak bertanya tentang Arya, aku bahkan tak peduli siapa dia sebenarnya yang aku tahu aku hanya terlena dalam dekapan.
Malamnya aku benar-benar menjadi model. Di sebuah kamar hotel yang disulap menjadi studio dadakan, aku duduk membelakanginya, membiarkan di melukisku tampak belakang, leherku sampai pegal karena menoleh ke kanancukup lama, kebaya hijau yang aku pakai menonjolkan keindahan punggung mulusku, rambutku disibakkan kedepan. Rasanya menakjubkan menjadi model lukisan yang akan dipajang pameran lukisan di Jakarta. Namun sampai saat ini aku belum melihat hasil lukisannya.
“Winar,” panggilan itu memecah lamunanku. Aku menoleh, Arya berdiri di hadapanku. Tidak, ada seorang wanita di sampingnya. Jantungku berdegup kencang antara bingung sekaligus takut menghadapi ini semua.
“Arya?” ujarku dengan pandangan bertanya. Tentang Arya dan siapa perempuan itu.
“Vega, ini Winar pemandu wisata yang aku ceritakan,” ujar Arya sambil memegang kedua tangan wanita di sampingnya. Aku hanya terpekur seperti orang tolol di hadapan mereka seperti karang yang dihantam angin pantai.
“Jadi dia yang menjadi model lukisanmu? Kau tahu Arya, aku bahkan tak pernah menjadi model lukisanmu!” ujar perempuan yang sepintas kudengar bernamaVega itu. Ini pasti tentang kebersamaanku dengan Arya. Kulihat matanya berkaca-kaca, dia pasti begitu terluka. Aku memang bersalah, terlalu naïf menafsirkan rasa dalam hati. Rupanya Arya sudah ada yang memiliki, seorang gadis mungil yang berpenampilan feminine dengan rok lipit biru selutut dan kaus putih sangat tidak cocok di pakai ke pantai. Semantara aku berpakaian apa adanya, kaus dan celana pendek sudah cukup.
“Aku mau jujur daripada ada yang mengganjal dalam hati, rasanya berat bila menyimpannya darimu, aku ingin mengakui kalau aku bersalah dan aku akan mempertanggung jawabkan ini semua agar kita bias menjalani hubungan dengan tenang,” ujarnya. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, bingung harus berbuat apa. Masalahnya, kalau mereka berdua berbicara pribadi kenapa harus ada aku?
“Tunggu, tunggu kenapa aku harus ada di antara kalian?” potongku di tengah pembicaraan mereka. Aku tak tahan menjadi patung di depan mereka. Jelasnya, aku cemburu melihat perempuan di samping Arya. Seandainya perempuan itu adalah aku seperti sebulan yang lalu.
“Aku mau jujur pada kekasihku, Winar. Aku terbawa suasana saat bersamamu bahkan aku lancing telah menciummu. Terasa mengganjal saat aku menyimpannya dari Vega sampai akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semuanya ternyata Vega meminta lebih, dia ingin melihat wanita yang telah mengalihkan perhatianku darinya bahkan menjadi model lukisanku sementara tunanganku sendiri belum. Rasanya tidak adil baginya, aku minta maaf untuk semua perbuatanku dan kedekatan kita yang jatuh di tempat yang salah,” ujarnya tegas.
Aku tak mampu menahannya lagi, hatiku begitu sakit mendengar kata-katanya. Aku berbalik untuk menyembunyikan air mataku. Naifku menimbulkan luka di sana-sini, bodohnya aku tidak berpikir sebelum bertindak. Aku terlena dengan rasa nyaman bersamanya sampai lupa bertanya siapakah dirinya? Apa dia ada yang memiliki?
Kuhapus air mata, mencoba tegar menghadapi semuanya lalu aku berbalik untuk menyelesaikan semuanya. Aku ingin pulang, aku lelah.
“Apa yang kau lakukan bersamakekasihku? Aku mengerti tubuhmu begitu sintal hingga Arya tergoda menjadikanmu model lukisan sekaligus teman di Malang tapi tidakkah kau tahu diri kalau ia telah bertunangan?” desak Vega.
“Aku tidak tahu, seandainya aku tahu tak sedikitpun aku akan menyentuhnya. Aku hanya keliling Malang bersama Arya lalu menjadi modelnya,” ujarku sambil sekuat hati menahan tangis.
“Vega, akutelahjujurmengakuisemuanyadanWinar juga sudahmengungkapkansemuanya. Akuinginkitakembalisepertisemulatanpaadabeban di dada lalukitabisamelanjutkanhubungandengantenang,” ungkap Arya.
Akutakmenyangka, seorangsenimanseperti Arya ternyatataklebihdaripriabiasa. Akupunmendapatpelajaranuntukbersikapsetiaapapun yang terjadi.
“Vega, maafkan aku. Aku telah lancing mengambilnya darimu, kini kukembalikan kembali semua cinta Arya kepada yang berhak. Kuanggap kisah ini hanya sekedar lewat, tanpa perlu dikenang, lupakanlah semua yang terjadi antara aku dan Arya,” ujarku sambil memegang tangan Vega. Dia hanya menatapku datar. Apapun itu yang penting aku dan Arya sudah jujur mengungkapkan semuanya.
“Winar, tunggusebentar…” tahan Arya lalu berlari ke pinggir pantai, mengambilsesuatu.
“Kukembalikan lagi lukisan ini untukmu, maaf lukisannya sedikit ternoda tapi kenanglah bahwa kau pernah menjadi model lukisanku,” ujar Arya sambil menyerahkan gulungan kanvas. Aku membukanya perlahan. Betapa terkejutnya aku saat melihat potret lukisanku yang sedikit tercorengnoda cat merah di beberapa bagian.
“Vega marah, dia merusak lukisannya,” ujar Arya. Sudah kuduga, Vega pasti tidak terima perlakuan Arya. Kini lukisan itu semakin ternoda akibat air mataku yang menetes. Lukisannya begitu bagus, seperti foto. Lukisan itu bagaikan mahakarya terindah yang pernah kulihat. Lukisan yang ternoda ini menjadi bukti kalau aku dan Arya pernah menjalin kedekatan meskipun singkat namun goresannya begitu membekas baik di kanvas maupun di hatiku. Aku belajar banyak dari kejadian ini, belajar untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan, agar tidak mudah terbawa suasana. Diiringi suara ombak bertemu dengan angin aku mengucapkan selamat tinggal, Arya. Terimakasih atas lukisan yang engkau goreskan untukku yang bukan kekasihmu.
THE END