Langit dan Asmara

Part 1
“Rara, Rara. Bangun, nak.” Ujar ibu Darmi lembut saat membangunkan anaknya. Gadis kecil itu perlahan membuka matanya. Baru kali ini Asmara mendengar suara lembut ibunya, biasanya sang ibu selalu mencaci maki dirinya yang masih berumur enam tahun itu. Asmara mengangkat separuh tubuhnya dari alas tikar tipis, ia memandang ke sekeliling tempat tinggalnya seolah memanggil kembali nyawanya yang masih beterbangan.
“Iya, Bu.” Jawab Asmara pelan.
“Ayo ikut, Nak. Ada Om David mau mengajak kamu main,” ujar sang ibu.
“Om David siapa, Bu?” ujar Sovi.
“Saudara.”
Asmara mengangguk, ia menuruti kata-kata ibunya padahal ia tidak tahu apapun tentang om David yang disebut sebagai saudaranya. Ia bahkan tidak pernah tahu dirinya punya saudara atau tidak, sepanjang hidupnya hanya ia habiskan berdua dengan sang ibu. Asmara mengambil air dari kendi di dapur. Sebenarnya tempat itu tak layak disebut dapur karena menjadi satu bersama gubug remang diterangi cahaya dari lampu tempel beralaskan tanah gembur dengan dinding anyaman bambu. Tempat masak berada di sudut ruangan dengan tungku kayu bakar serta perlengkapan makan seadanya tersusun rapi di meja kayu rapuh penuh rayap.
“Sudah?” tanya ibu setelah Asmara keluar dari dapur. Asmara mengangguk. Iapun segera mengikuti sang ibu ke depan. Di sana ia disambut dengan seorang laki-laki tinggi kurus berjaket kulit warna hitam dan berkaca mata gelap. Asmara memandangnya penuh rasa takut, iapun bersembunyi di belakang kaki ibunya.
“Rara, ayo jalan-jalan!” ajak pria itu. Asmara makin membenamkan diri ke belakang kaki ibunya. Pelukannya makin erat seolah tak ingin pergi jauh dari ibunya.
“Ayo, nak, sebentar aja. Dia Om kamu, kok. Kamu nanti dibelikan mainan yang banyak sama makanan enak,” bujuk sang ibu setelah bersimpuh di hadapan Asmara. Mendengar bujukan ibunya, Asmara yang polos langsung berubah pikiran. Ia bersedia ikut pria itu.
“Ayo Rara cantik. Ikut Om,” ajak pria itu lalu menggandeng tangan Asmara, membawanya menjauh dari rumah. Asmara sempat menoleh setelah beberapa langkah meninggalkan gubuk, terlihat sang ibu sedang membuka amplop cokelat tebal dan mengeluarkan beberapa lembaran berwarna merah lalu tertawa bahagia karenanya.
******
Asmara merasa kebun binatang Gembira Loka Yogyakarta bagaikan surga bermain untuknya, ia berlarian bebas dan memberi makan hewan-hewan lucu. Om David begitu baik padanya. Ia menemani Asmara bermain keliling kebun binatang, senyum dan canda tawanya menuntaskan rasa haus Asmara akan kasih sayang seorang ayah yang tak pernah ia tahu rupa maupun namanya.
“Om, binatangnya makan wortel dari aku!” seru Asmara senang di depan kandang orang utan.
“Iya, Ra. Wortelnya enak,” ujar Om David. “Rara mau es krim?” tanyanya lagi. Asmara mengedip-edipkan matanya.
“Es krim itu apa, Om?” tanya Asmara polos. Kemiskinan membuatnya tidak tahu nama-nama makanan atau minuman. Selama ini ia hanya makan nasi, tahu, tempe, telur dan minum air. Itupun kalau sedang ada uang, kadang bocah itu tidak makan sama sekali saat ibunya tidak punya uang.
“Es krim itu minuman yang dingin, lembut, dan manis kayak kamu,” Jawab Om David. “Om belikan, ya?” lanjutnya.
Beberapa menit kemudian Om David membawa satu cangkir es krim cokelat lalu menyerahkannya pada Asmara.
“Enak banget, Om!” seru Asmara dengan mata berbinar. Om David membelai lembut rambut Asmara.
“Asmara, hari ini kita puas-puasin main sama makan.”
“Om, kalau nanti kita keluar bareng lagi boleh nggak ajak ibu? Kasihan ibu nggak pernah main kayak gini, Rara pengen kalau Rara merasakan enak, ibu juga harus enak. Rara sayang ibu,” ujar Sovi tulus. Ia begitu menyayangi ibunya meskipun sang ibu sering memaki bahkan tak jarang memukuli tubuh ringkihnya.
“Boleh,” jawab David pendek.
******
“Rara minum teh dulu, ya?” ujar Om David sambil mengangsurkan sebotol teh pada Asmara. Mereka sedang berada di mobil, Asmara duduk manis di samping David. Ia menerima teh dari tangan Om David lalu meminumnya sampai habis. Tak lama kemudian Asmara merasa sakit kepala. Otaknya seperti dirajam, nyeri sekali. Sedetik berikutnya pandangan Asmara kabur, tubuhnya melemah, ia melorot pingsan di jok mobil.
David tersenyum licik, dia lanjut melancarkan aksinya. Rasa ibanya pada Asmara luntur seketika saat melihat potensi bocah itu menghasilkan uang untuknya.
“Ah, gampang sekali mengubah anak-anak miskin menjadi lumbung uang.” Tukasnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
*******
“Keliling seharian cuma dapat segini?” damprat bos Eric pada Asmara. Alisnya naik turun saat mengungkapkan kemarahan. Matanya yang sinis melotot seperti orang kebakaran jenggot. Asmara sudah kebal dari rasa takut, hampir setiap hari dia diperlakukan kasar seperti itu.
“Orangnya pelit-pelit, Bos,” bisik Asmara pelan.
“Eh, ngelawan kamu ya?” tangan Eric mendorong kepala Asmara. Bocah itu hanya menghela nafas, ia memang terbiasa menerima siksaan dari bosnya. Dia tidak tahu pasti kapan derita ini bermula, seingatnya ia tiba-tiba bangun dari tidur panjang lalu menemukan dirinya berada di sebuah ruangan sempit bersama banyak anak kecil. Iapun berlari mencari Om David, orang yang mengajaknya berjalan-jalan keliling Yogyakarta. Dia malah bertemu dengan pria hitam kekar menyeramkan bernama Eric, orang yang kemudian menjadi bosnya. Masa kecil yang harusnya bahagia menjadi bencana. Ia yang seharusnya bermain, sekolah, dan belajar malah harus mengemis demi seorang bos gepeng (gelandangan dan pengemis) yang memanfaatkannya demi meraup rupiah. Keadaan ini tentunya sangat buruk untuk tumbuh kembang bocah seusianya.
Asmara bingung, ia mencari David dan ibunya. Hasilnya nihil, Asmara terperangkap dalam rumah kontrakan tempat Eric dan anak-anak lainnya. Sejak itu Asmara dipaksa mengemis, hasinya semua diberikan pada Eric. Ia hanya mendapat makan dan tempat tinggal. Masa kecil Asmara mendadak ia habiskan di jalan, ia bahkan tak tahu keberadaannya. Satu yang ia paham, ia sedang berada di sebuah kota besar penuh sesak dengan kendaraan bermotor. Temannya bilang, ia berada di Surabaya, ibu kota Jawa Timur. Asmara hanya mengangguk pasrah, tanpa mengerti apa yang harus ia lakukan.
*******
Panas terik matahari begitu menyengat di kulit Asmara. Ia sudah terbiasa berteman dengan sang surya. Setiap hari dia keliling kota untuk mengemis atau mengamen, polusi, asap pabrik, debu jalanan yang membuat wajahnya kotor sudah bukan hal baru lagi untuknya. Dia bekerja tanpa tahu sekarang hari apa, tanggal berapa, jam berapa sekarang. Dia hanya tahu pagi, siang, dan malam. Asmara bekerja banting tulang karena dia memang tidak tahu harus kemana lagi.
Di lampu jalan itu dia memanfaatkan lampu lalu lintas yang berhenti lama untuk meminta-minta. Ia mengetuk pintu mobil satu per satu berharap ada yang iba lantas memberi uang padanya.
Tok tok tok…
Asmara mengetuk kaca jendela sebuah mobil mewah buatan Jepang. Pengendara mobil itu paham dan segera menurunkan kaca. Laki-laki itu menjatuhkan selembar uang berwarna hijau ke aspal. Asmara memungutnya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih pada pengendara mobil yang begitu murah hati.
“20 ribu?” tukasnya bahagia. Sovi dan anak-anak lain hanya diajarkan membedakan lebaran uang receh dan kertas melalui warna dan bentuk.
Iapun segera berlari menyeberang jalan ke warung lalapan pinggir Hotel Bumi Surabaya. Biar saja bos Eric marah, yang terpenting ia bisa makan. Sesampainya di warung, Asmara langsung memesan nasi dan lalapan ayam goreng, baginya, makan ayam adalah impian. Selama ini dia hanya makan apapun yang Eric berikan, pernah suatu kali dia hanya makan nasi putih dan kerupuk. Kali ini kesempatan datang, ia tidak ingin melewatkannya.
Tiba-tiba ada seorang nenek berjalan pincang ke arahnya. Asmara iba melihatnya. Ia mencoba mendekati si wanita tua.
“Nenek nggak apa-apa?” tanya Sovi.
“Nenek lapar,”ujarnya dengan suara bergetar. Hati Asmara terenyuh, ia memandangi nasi bungkus di tangannya. Dia bingung, di satu sisi dia ingin sekali makan ayam goreng, di sisi lain dia kasihan melihat nenek itu.
“Nek, ini saya punya nasi bungkus. Silakan dimakan, Nek.”
Asmara menyerahkan bungkusan nasi itu pada si nenek dengan ikhlas. Biarlah, toh dia juga akan diberi makan oleh Eric. Nenek itu lebih membutuhkannya.
******
“Asmara! Kenapa kamu dapat uang paling sedikit?” bentak Eric. Sovi menggigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu harus memberi alasan apa, dia sudah keliling sepanjang siang tapi hasilnya tetap pas-pasan.
“Kamu malas, ya? Kulit kamu juga tetap putih. Lihat yang lain, semuanya hitam macam orang Timur!”
“Saya bekerja, bos.”
“Bohong!” bentak Eric tepat di depan muka Asmara. Nafas bau rokoknya membuat Asmara mual. “Kalau kamu kerja, kamu pasti mendapatkan uang lebih banyak. Masa seharian keliling cuma dapat recehan?”
“Huek!” Asmara refleks mual. Ia menutupi mulutnya dengan tangan. Dia tak kuasa menahan bau busuk napas bosnya, Emosi Eric langsung terpacu, ia menyangka Asmara sakit dan tidak bisa bekerja untuk beberapa hari ke depan.
“Kamu kenapa?” tanya Eric.
“Nggak apa-apa, Bos.” Jawab Asmara takut.
“Jujur!” bentak Eric sambil mencengkeram dagu Asmara. Gadis kecil itu kesakitan, jemari Eric membuat rahangnya nyeri. Sepuluh menit lagi kalau tangan Eric tetap menekan pipinya, tulang rahangnya akan retak.
“Na…pas… bos… ba…u…” ungkap Asmara jujur. Ia bingung harus berbuat apa selain berkata terus terang.
“Apa!” seru Eric marah. seketika itu juga Eric menarik tangan Asmara lalu membawanya ke ruang penyiksaan yaitu kamar mandi. Di situ Eric menghujamkan kepala Sovi ke dalam bak mandi berkali-kali. Bos anak jalanan itu hampir setiap hari bertindak semena-mena terhadap anak buahnya. Entah sampai kapan Asmara berhadapan dengan bos psikopat itu. Dia berada dalam posisi sulit untuk melarikan diri, ia tidak punya uang sepeserpun, ia juga tak tahu jalanan kota besar yang ia diami saat ini. Gadis itu hanya bisa tegar menerima nasib hidup di lingkungan gelandangan yang keras.