top of page

Setelah Mama Pergi

Pernikahan tinggal seminggu lagi tapi Bram masih juga merahasiakan semuanya dari Kandya, si gadis mungil umur 15 tahun itu. Bram bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dia sengaja menyibukkan Kandya dengan berbagai kursus dan ekstrakulikuler agar Kandya melupakan janji telah disepakati oleh keduanya. Namun sekeras apapun usaha Bram untuk menutupinya, selalu ada yang mengganjal. Ia takut menyakiti hati gadis kesayangannya. Ia merasa amat berdosa telah mengkhianati janji yang ia buat sendiri. Di sisi lain ia ingin bahagia sekaligus mengusir sepi, mendapatkan lagi manisnya cinta seorang wanita, menghilangkan senyap di tempat tinggalnya. Segalanya hanyalah keinginan wajar dari seorang duda.

“Malam, Papa!” sapa Kandya ceria sepulang dari les kimia. Wajah polosnya terlihat cerah setelah seharian beraktifitas. Bandananya melingkar rapi di kepala, poni lurusnya menutupi dahi, dan senyum itu, senyum berhias gigi gingsul yang membuatnya tampak sedap dipandang. Pantas saja Kandya menjadi gadis favorit di sekolahnya. Cantik, aktif, dan pintar itulah Kandya.

“Malam, sayang! Gimana sekolahnya?” tanya Bram sembari mencium kening anaknya seperti biasa.

“Menyenangkan, Pa. Aku dapat nilai 96 di ulangan matematika,” ungkapnya ceria sambil menunjukkan kertas ulangan berhias angka gemilang yang harus Bram tandatangani.

“Papa paling senang kalau menandatangani kertas ulangan Kandya, nilainya pasti bagus.”

Bram menggandeng tangan Kandya, mengajaknya ke ruang tamu, ia mencoba ambil kesempatan saat suasana hati Kandya sedang gembira. Ia memutuskan untuk jujur daripada timbul masalah di hari pernikahan. Biar bagaimanapun, Kandya adalah darah dagingnya, separuh nyawanya, satu-satunya peninggalan Fitri sebagai pelipur lara saat rindu melanda pada pendamping yang telah sewindu tiada.

“Kandya pernah merasa rumah ini begitu sepi?” tanya Bram setelah menandatangi hasil ulangan Kandya.

“Nggaklah, kan ada Papa?” sanggah Kandya cepat seolah menutup pertanyaan agar tidak berlanjut.

“Maksud Papa, misalkan kamu ingin ada yang masakin atau teman curhat sepulang sekolah?” pancing Bram.

“Itu kan tugas Papa semua?” tukas Kandya lagi. Bram hanya bisa garuk-garuk kepala, bingung membalas perkataan anaknya. Maksud hati ingin jujur tapi tidak tega melihat wajah polos Kandya.

“Apa kamu tega Papa sendirian merawat kamu? Atau kamu nggak ingin adik kecil biar rumah ini jadi ramai? Masa rumah sebesar ini selalu sepi?” desak Bram. Kandya mulai gerah, dia merasa aneh dengan pertanyaan papanya.

“Papa nggak pernah sendirian karena Mama selalu melihat kita dari surga. Lagian siapa yang kepingin adik, Pa? Kandya nggak suka anak kecil, berisik,” protes Kandya. Bram mulai gelisah, mau tak mau dia harus jujur. Ia sudah tahu kalau anaknya tidak mungkin setuju tapi semua prosesi telah siap tidak mungkin untuk dibatalkan.

“Kandya, Papa mencintai wanita lain,” ujar Bram jujur. Mata Kandya terbelalak, ia terkejut dengan penyataan papanya barusan.

“Papa apa-apaan sih?” pekik Kandya.

“Namanya Laras, salah satu pasien Papa. Dia seorang pegawai bank, orangnya baik, ramah, keibuan. Dia bersedia menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan Papa, dia bisa merawat kamu sepenuhnya,” bujuk Bram. Apapun bujuk rayunya, hati Kandya sudah mengeras, ia enggan menerima orang lain untuk menjadi ibunya.

Kandya berdiri, ia tidak bisa menahan berang, hatinya sakit mendengar kata-kata orang tuanya.

“Papa pernah janji sama Kandya kalau Papa tidak akan menikah lagi sampai kapanpun!” seru Kandya emosi. Bram salah, ia kira Kandya lupa ternyata ia masih ingat akan janji itu.

“Tapi ini berbeda, Kandya. Papa menemukan sosok Mama Fitri dalam diri Laras, Papa jatuh cinta dan ingin dia jadi ibu kamu,” jelas Bram dengan nada selembut mungkin.

“Mama nggak ada yang bisa gantikan, Mama paling cantik, paling baik, masakannya paling enak, mama adalah perempuan yang aku sayangi. Kandya keberatan, Pa!” Kandya bersikeras menolak permintaan Bram. Ia hanya ingin berdua bersama papa tanpa ada tambahan anggota keluarga baru.

“Terlambat. Minggu depan Papa akan menikahi Laras,” ujar Bram getir. Separuh hatinya terluka melihat Kandya menangis lalu berlari ke kamarnya dengan hati yang perih tapi di sisi lain ia ingin mengisi kembali kehampaan hatinya bersama Laras. Biarlah, yang penting dia sudah jujur meskipun pahit rasanya.

******

Prosesi ijab qabul baru saja selesai dengan lancar. Bram dan Laras resmi menjadi suami istri, berikutnya upacara berlangsung dengan adat jawa dengan pelaminan berhias bunga krisan kuning dan putih. Para tamu menyalami kedua mempelai. Mereka mengucapkan selamat atas hari bahagia. Bahagia? Sepertinya tidak, separuh hati Bram kosong, dia merasa bersalah pada Kandya. Kejujurannya begitu menyakitkan. Berbohongpun salah, Kandya pasti akan lebih tersakiti. Diam-diam dia mencuri pandang ke seluruh penjuru rumah, siapa tahu ada Kandya hadir di sana. Untuk kali ini dia hanya ingin melihat wajah anak semata wayangnya.

“Papa!” seru Kandya. Semua mata tertuju pada gadis mungil yang datang tiba-tiba lalu merangsek masuk di antara tamu-tamu yang bersalaman. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Seketika Kandya menghambur ke pelukan Bram. Peristiwa itu membuat semua tamu termasuk mertua Bram terkejut.

“Pa, Papa jangan menikah! Aku nggak suka sama Tante itu, aku cuma mau sama Papa!” rengeknya polos. Ia belum mengerti kalau papanya sudah menikah.

“Kandya…” Bram tak mampu mengucapkan apa-apa. Dia tertegun memandangi Kandya yang tengah menangis di pelukannya.

“Papa pernah bilang kalau pernikahan hanya sekali untuk selamanya dan Papa akan selalu mencintai Mama meskipun Mama telah berpulang ke tempatnya Tuhan,” ujarnya polos di tengah derai air mata. Hati Bram terenyuh, ia telah bersikap egois pada darah dagingnya sendiri. Tangisan Kandya berarti sengsara baginya, ia gagal menuruti pesan Fitri untuk membahagiakan Kandya, jangan sampai buah cintanya itu menangis.

Tangan Bram meraup wajah Kandya, menatapnya lekat-lekat, baru kali ini ia menyadari kalau Fitri tidak benar-benar pergi dari muka bumi ini. Dia meninggalkan satu anak perempuan yang wajahnya sangat mirip dengannya. Seharusnya Bram bisa bahagia meski hanya hidup berdua Kandya.

“Fitri…” ujar Bram lirih sambil menghapus air mata Kandya.

“Bram, Kandya lebih membutuhkanmu daripada seorang ibu tiri, aku paham, dia sangat menyayangi almarhumah ibunya, dia hanya ingin bersamamu selamanya. Batalkan pernikahan ini,” ucapan Laras mengejutkan banyak pihak tapi ini yang terbaik bagi semuanya. Laras besar hati untuk mengalah demi kebahagiaan anak Bram. Buat apa pernikahan berlanjut tapi ada yang terluka dibalik itu semua? Kandya hanya seorang gadis polos yang berhak menolak keputusan orang tuanya. Ia ingin berdua saja dengan Bram seperti janji yang telah Bram ucapkan. Kandya ingin papa setia dengannya, ia hanya gadis kecil yang tak ingin cinta papanya terbagi. Hanya Bram yang Kandya punya setelah Mama pergi.

THE END

Featured Review
Tag Cloud

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
bottom of page