top of page

Pergi Bersama Awan


Roda bus menggelinding semakin cepat menuju Kabupaten paling timur di Pulau Madura. Kendaraan itu membawa Sisil pulang ke kampung halamannya, Sumenep. Tempat ia lahir dan besar itu merupakan sebuah kota yang tenang, dengan segala keindahan seni kerajaan sisa masa lalu. Dia lebih menyukai transportasi darat untuk sampai ke sana daripada dengan pesawat terbang yang sedang gencar dipromosikan pemerintah daerah sebagai penggerak kemajuan ekonomi Kabupaten Sumenep. Dengan menumpang bus, Sisil bisa melihat pemandangan yang berganti untuk meredakan resah di dadanya.

Perempuan berwajah manis itu pulang tanpa permberitahuan untuk menemui Rafa, mantan kekasih yang masih ia cintai. Bus melintasi sebuah gapura kokoh dengan patung kuda terbang di sisi kiri dan kanan bertuliskan Selamat Datang di Kabupaten Sumenep. Sebentar lagi Sisil akan berjumpa dengan Rafa. Gelapnya langit dini hari disertai kabut tebal menjadi saksi pertemuan terlarang itu.

“Sumenep! Sumenep! Terakhir!” seru seorang kondektur tinggi besar berjenggot mirip preman. Sisil sadar dari lamunannya, ia segera beranjak dari kursi barisan kiri paling depan lalu turun dari bus. Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari Rafa. Mata sipit hampir menyerupai garis itu tidak menemukan sosok tampan sang mantan penjaga hatinya. Ia hanya melihat bus-bus berjajar untuk parkir dan bersiap berangkat kembali.

“Di mana Rafa?” Sisil menoleh ke kanan dan kiri, ia tidak menemukan pria berkulit sawo matang yang ia nantikan. Dia merasakan udara dingin dini hari mulai menembus jaket tebal yang ia pakai. Gadis kurus itu merapatkan jaket menghindari hembusan angin pagi buta tembus ke tulangnya.

“Sisil!” panggil seorang pria tinggi besar berwajah tampan memikat dengan kulit sawo matang. Sisil menoleh ke belakang, matanya langsung menunjukkan binar kebahagiaan seiring rasa lelahnya yang menghilang. Setitik air mata keluar dari indera penglihatannya.

“Rafa,” bisik Sisil pelan.

******

Jalanan sepanjang alun-alun Kota Sumenep menjadi saksi pelepasan rindu dua insan yang terpisah karena rumitnya permusuhan dua keluarga turun temurun. Cerita klasik serupa sastra barat berjudul Romeo Juliet. Terlihat beberapa pekerja sedang mendirikan tenda, menghias pusat kota demi suksesnya acara ulang tahun Sumenep ke- 748. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Dua sejoli itu duduk di pinggir taman tepat di depan air mancur. Pengunjung alun-alun masih sepi, mungkin karena masih terlalu pagi. Sumenep sudah tak sesepi dahulu saat Sisil masih sekolah karena sekarang Sumenep menjadi primadona baru pariwisata kepulauan Madura dengan kepopuleran Pulau Gili Labak yang terkenal dengan pemandangan laut yang menakjubkan dan Pulau Gili Iyang, pulau yang kerap dibicarakan karena terdapat oksigen terbaik di dunia.

Sisil penasaran dengan kedua pulau itu namun kini hatinya remuk, wajahnnya menatap lurus di depannya. Angin segar pagi hari berhembus menerpa mereka seolah mendukung sesak hati keduanya. Mereka bertemu, saling mencintai, tapi tidak bisa bersama. Miris.

“Orangtua kita masih bermusuhan?” tanya Sisil.

“Tidak, mereka berdamai karenamu,” jawab Rafa.

“Karena kita,” koreksi Sisil.

“Tapi kenapa kita masih tidak bisa bersama?” tanya Sisil lagi

“Takdir menolak meskipun keluarga kita telah berdamai,” jawab Rafa. Air mata Sisil menetes melewati pipi mulusnya kemudian jatuh ke laut. Kepalanya tertunduk, ia tidak ingin Rafa tahu dirinya menangis. Ia harus tampak tegar menghadapi semuanya.

“Sudahlah, Sayang. Jangan larut dalam kesedihan. Lebih baik kita nikmati keindahan kota kecil ini satu hari penuh tanpa ponsel, tanpa internet, hanya ada aku, kamu, …” Rafa menggantung kalimatnya.

Rafa menatap mata Sisil dalam-dalam sambil meraih kedua tangan gadis yang dicintainya lalu menangkupkannya ke depan dada.

“Dan cinta.”

******

. Sisil bagai berada di negeri dongeng tatkala masuk ke istana peninggalan kerajaan Sumenep. Gadis berambut sebahu itu amat mengagumi ukiran khas Madura yang menyambutnya di pintu gerbang.

Sisil tampak asik memotret dirinya sendiri dan benda-benda bersejarah dalam kotak kaca. Ia seakan lupa dengan rasa lelahnya perjalanan dari Surabaya menuju Madura.

“Aku ikut!” seru Rafa lalu berdiri di samping Sisil untuk berfoto. Getaran cinta itu masih menyelimuti mereka, mengikat Sisil dan Rafa dalam satu kisah indah. Sebenarnya perbedaan bukan hanya rintangan mereka, permusuhan kedua keluarga juga menjadi halangan. Saat perdamaian itu terjadi, Rafa dan Sisil malah semakin jauh.

“Ayo kita ke kamar raja,” ajak Rafa lalu menggandeng tangan Sisil layaknya masih berpacaran dulu. Sampailah mereka di sebuah bangunan penuh ukiran kayu, meja kursi tempo dulu, dan korden klasik berwarna merah. Ruangan itu tertutup rapat, pengunjung hanya boleh berkeliling di seputar teras dan mengintip lewat jendela jika ingin melihat tempat tidur pemimpin kerajaan sumenep.

“Rasakan semilir anginnya, sejuk, kan?” tanya Rafa. Tangannya dan Sisil masuk melalui teralis besi. Konon katanya roh sang raja sumenep pertama masih tinggal di kamar dalam wujud pusaran angin sejuk.

“Iya, seperti masih ada penghuninya.”

Seketika jemari mereka tidak sengaja bersentuhan seraya mata mereka juga bersatu dalam sebuah nada nostalgia cinta mereka. Kedua tangan itu bersatu seiring dengan irama karawitan[1] Madura yang sedang mengalun indah seolah menjadi latar syahdu dari cinta tak sampai. Sisil dan Rafa kemudian bergandengan tangan menuju pemain karawitan yang memainkan alat musik tradisional Madura di teras keraton.

Ternyata malam ini Sumenep punya acara bergengsi pemilihan duta pariwisata Kacong tor Cebbing[2]. Para pemain gamelan sedang latihan untuk acara nanti mengiringi 20 finalis wanita yang berlatih tari muang sangkal[3] khas Sumenep. Sisil jadi ingat saat mengikuti pemilihan dulu, dirinya juga menari tarian di malam final, ia ingin menari seperti itu lagi,

“Dulu kita bertemu di pemilihan ini,” ujar Rafa.

“Iya, diantara semua pasangan, cuma kita yang cinta lokasi,” balas Sisil.

“Sebenarnya inginku bukan cuma cinta lokasi tapi harus cinta selamanya,” ujar Rafa lembut sambil mempererat genggaman tangannya pada Sisil.

“Aku ingin melihat kamu menari,” bisik Rafa halus di telinga Sisil.

Sisil langsung membaur dengan finalis, dia mengambil posisi paling belakang agar tidak mengganggu gerak peserta latihan. Untung saja ada beberapa yang mengenalnya jadi ia tidak canggung untuk menari.

Iringan gamelan semakin berdenting riang seirama dengan gerak kaki dan tangan Sisil. Badannya yang lentur membuatnya mudah mempersatukan gerakan dengan para finalis. Tarian yang indah dihiasi senyuman manis terlihat sangat elok. Tiba saat gerakan favorit Sisil yakni membuang beras. Tangan kiri gadis itu seolah memegang cawan berisi beras, tangan kanannya bergerak mengambil beras lalu melemparnya. Sisil tampak sangat bahagia karena ia dapat kesempatan menari untuk Rafa.

******

Buih ombak menjilat jemari kaki Rafa dan Sisil dengan lembut. Kebersamaan mereka hampir berakhir karena waktu mereka hanya satu hari. Langitpun mengerti suasana hati mereka yang sedang mendung kelabu. Awan gelap siap meneteskan bebannya ke bumi sore itu. Pantai Lombang menjadi saksi bisu pelepasan rindu yang masih bertumpuk, pantai dengan pasir putih dan pohon cemara udang yang tumbuh di pinggir pantai.

Pantai dan pohon cemara udang, berbeda dengan cemara pada umumnya, cemara udang memiliki simpul yang jika dipotong terlihat mirip seperti kepala seekor udang berbeda dengan keduanya berbeda tidak mungkin bersatu tapi Pantai Lombang mampu menyatukan keduanya seperti Tuhan mempersatukan Sisil dan Rafa, dua insan dengan sejuta perbedaan. Dia menuliskan rencana yang unik untuk keduanya.

Kedua tangan Rafa menyibakkan rambut Sisil yang berantakan tertiup angin pantai, ia menatap wajah kekasihnya dalam-dalam seakan tidak mau kehilangan.

“Aku mencintaimu,” ujar Rafa lembut. Sisil tersentuh, setetes air keluar dari mata indahnya.

“Kalau kamu mencintaiku kenapa pergi?” rengek Sisil dengan mata basah..

“Demimu, demi perdamaian keluarga kita, bukankah kita sudah satu sekarang?” tukas Rafa. Hatinya teriris saat mengatakan kalimat itu.

“Tidak, kamu pergi, aku butuh kamu yang melengkapiku, aku ingin kamu ada untuk menghapus air mataku,”

“Sayang, aku pergi untukmu.” Rafa terus meyakinkan Sisil yang masih menitikkan air mata. Ia sangat mencintai Rafa, kepergiannya menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya. Cinta dan kehilangan sudah menjadi satu ikatan, jika kita siap mencintai, kita harus siap kehilangan.

“Tapi aku ingin menyentuhmu, ingin dunia tahu hubungan kita, bukan seperti ini.”

“Aku ada dalam dirimu.”

Sedetik kemudian Rafa mengajak Sisil bergandengan tangan menuju tengah laut. Mereka larut dalam nikmatnya debur ombak membentur tubuh mereka. Dua pasang anak manusia itu berjalan melawan benturan ombak menuju tengah pantai, jiwa Sisil semakin tenang meraba sisa kasihnya bersama Rafa. Dinginnya air membentur tubuh ringkihnya, perlahan laranya semakin hilang seiring tubuhnya semakin tenggelam terkena ombak yang meninggi. Iapun sadar kalau tangannya memegang jemari seorang laki-laki. Orang itu bukanlah Rafa.

******

40 hari yang lalu, Sisil kecelakaan motor setelah mendengar orang tuanya dengan orang tua Rafa bertengkar lagi. Pertengkaran itu membuat Sisil kabur, ia mengendarai sepeda motornya dengan kencang melawan arus. Sisil melewati jalur yang berlawanan, ia sengaja melakukannya agar dirinya celaka.

Sebuah truk melintas di depan Sisil, ia banting setir ke kanan untuk menghindarinya. Kepala Sisil terbentur trotoar. Kejadian itu menyebabkan Sisil buta. Rafa secepat kilat turun tangan untuk mendonorkan matanya untuk Sisil. Rafa mengendarai motor dengan brutal lalu menabrak pohon besar lalu ia berpesan kepada dokter untuk mendonorkan matanya tepat setelah menghembuskan nafas terakhir.

Sejak itu permusuhan antar orang tua membaik, tidak ada lagi pertengkaran, pertikaian seolah lebur setelah pertolongan Rafa yang tulus untuk Sisil. Masing-masing orang tua prihatin melihat cinta anak mereka yang menjadi korban. Sisilpun depresi, ia hanya menangis dan berteriak sepanjang hari sampai orang tuanya memutuskan untuk membawa Sisil ke rumah sakit jiwa.

******

Langit mulai menumpahkan air sedikit demi sedikit seolah mengerti dengan keadaan hati Sisil. Seorang psikiater muda nan tampan yang punya strategi sendiri untuk menyembuhkan Sisil. Psikiater Johan Daru menerapkan metode halusinasi dan sugesti pada Sisil. Memang, apa yang dilakukannya melanggar prosedur rumah sakit tapi ia hanya ingin pasiennya sembuh.

Sejak Sisil dirawat di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, ia enggan mengeluarkan sepatah katapun. Dia hanya diam terpaku menatap kosong ke depan. Johan sangat bingung dibuatnya sampai dia mencoba menanamkan sugesti pada Sisil bahwa Rafa adalah dirinya. Ia mewawancarai orang tua Rafa untuk meneliti siapa dia sebenarnya. Iapun berpura-pura menjadi Rafa. Hal itu dilakukan untuk memancing respon Sisil agar ia mau berbicara dan ternyata cara yang ia terapkan berhasil. Sisil menganggap Johan adalah Rafa.

Johan susah payah melangkah menerobos ombak di tengah gerimis, ia membiarkan celana hitam dan jas putih sepinggangnya basah terkena ombak. Sisilpun sadar sesaat setelah Johan membawanya ke pinggir pantai. Ia melihat baik-baik pria di hadapannya. Wajah itu berbeda dengan Rafa.

“Sisil, sudah puas melepaskan rindu? Sekarang, kembalilah ke dunia nyata. Ikhlaskan Rafa, lanjutkan hidupmu. Kamu masih muda, perjalananmu masih sangat panjang. Kamu dan Rafa itu satu, mata Rafa ada padamu,” tukas Johan sambil merangkul pundak Sisil.

Akhirnya, setelah sebulan perawatan, Johan berhasil membuat Sisil tersenyum. Johan lega melihat perkembangan pasiennya. Sisil yang dulunya mati rasa sekarang pulih dengan signifikan. Mata Sisil menatap ke satu titik di utara pantai, ia melukiskan lengkung di bibirnya lalu melambaikan tangan.

“Rafa pergi bersama awan menuju pangkuan Tuhan.” ujar Sisil sementara Johan diam saja, dia tahu maksud wanita itu.

“Itu Rafa,” tunjuk Sisil ke satu titik di awan mendung.

“Bukan. Rafa sudah tenang di pangkuan Tuhan. Berhati-hatilah apabila ada bayangannya di depanmu, bisa jadi itu adalah jin yang menyamar. Doakan saja agar dia tenang di sana.”

“Begitu ya? Aku harus ikhlas. Siapapun kamu, aku ingin mengenalmu sekali lagi karena selama ini aku mengenalmu sebagai Rafa.”

“Akhirnya kamu sembuh dari depresi berat, aku sangat lega.”

Kalimat terakhir itu benar-benar melegakan hati Johan. Satu lagi keberhasilannya menyembuhkan pasien dan ia juga mendapat pelajaran berharga bahwa jika terlalu mencintai seseorang, kita akan sangat terpuruk jika kehilangan. Cinta kepada Tuhan dan orang tualah yang sejati. Namun Johan berharap setelah ini ada babak baru antara hubungannya dengan Sisil.

SELESAI

[1] Gamelan khas Madura

[2] Putra dan Putri

[3] Tolak bala

 

Featured Review
Tag Cloud

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
bottom of page