Mantan Terindah
Rumah, 20 Januari 2006
“Tangte[1], Mada bolheh[2] pacahan[3] sama Sivia?” pinta Mada terpatah-patah. Dia menderita gagu sejak kecil. Kekurangannya ini tidak membuatnya patah semangat untuk belajar. Dialah bukti keadilan Tuhan, dia punya kekurangan tapi kelebihan yang ia miliki sungguh luar biasa. Mada masuk sekolah normal karena kecerdasannya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan usahanya meraih prestasi juara kelas dan nilai tertinggi di sekolah.
Pemilik senyum manis itu langsung minta izin pada ibu kalau ingin berpacaran denganku padahal belum ada kata cinta darinya selama kami bersahabat. Kaget, senang, bingung, semuanya bercampur menjadi satu rasa tak terlukiskan.
“Boleh, Nak,” jawab ibu. Beliau mengerti maksud dari perkataan kurang jelas dari Mada. Kukira beliau keberatan anaknya pacaran dengan cowok gagu tapi ternyata beliau malah bangga dengan sikapku yang bersedia menerima kekurangan orang lain.
“Tapi Mada unya[4] kheguwangan[5] Te. Mada gagu,” ujarnya jujur.
“Ibu juga, Sivia juga punya kekurangan. Semua manusia itu sama, Nak. Kekurangan dan kelebihan adalah pemberian Tuhan yang harus kita syukuri. Silahkan saja kalian pacaran asal ada batasnya,” ujar ibu. Aku bahagia sekali mendengar izin dari ibuku. Ini kedua kalinya aku mengalami hal yang berkesan di masa SMAku. Pertama kalinya adalah saat aku mulai jatuh hati pada Mada, kedua adalah saat Mada menggenggam tanganku erat sebagai kekasih hatinya. Saat itulah aku menyadari indah cinta berselimut ketulusan.
*
Mada Emmanuelle. Dialah yang membuat hari-hariku berwarna-warni di SMA. Tak terasa hampir satu tahun aku menjadi pacarnya setelah penembakan langsung melalui ibuku. Seketika aku dan Mada menjadi pasangan paling populer di sekolah. Semua anak tahu kalau Mada, si gagu juara kelas pacaran dengan Sivia, si cantik kapten cheerleaders sekolah. So what? yang penting kami bahagia.
Buatku dia istimewa, ketegarannya di tengah cemoohan orang membuatku belajar untuk menerima apapun pemberian Tuhan. Dia kerap kali menemaniku latihan cheerleaders di lapangan basket tiap sore tanpa peduli hinaan pemain basket sekolah dan anak-anak lain yang kebetulan lalu lalang. Aku tahu ia kuat menghadapi semua itu. Mada hebat.
*
Pantai Papuma Jember, 20 Januari 2007
Buih ombak hangat menjilati kaki kami berdua di tepian pantai. Hamparan batu karang tinggi menjadi saksi cinta kami. Sebuah keindahan kasih berbalut keikhlasan dalam menerima kekurangan. Kita berdua saling pandang, semilir angin pantai melewati wajah kami seolah mendorong kepala untuk lebih mendekat dan mendekat. Entah apa yang terjadi hingga aku sadar kalau bibir Mada menempel di bibirku. Saat itu aku langsung melupakan kekurangannya, yang aku ingat hanya mencintainya.
“Sivia… aghu[6] cyintha[7] ghamu[8],” ungkap Mada.
“Cukup sayang, aku sudah tahu meskipun kamu nggak ngomong.”
Cinta itu semakin terpatri erat dalam hatiku. Aku tahu kami berdua terlalu muda untuk mengenal cinta sejati tapi apa salah jika aku ingin menikmati anugerah indah dari Tuhan?
*
Gazebo belakang sekolah
Maafkan aku, Sivia. Aku harus meninggalkanmu, seharusnya aku sadar kalau aku tak pantas untukmu, aku enggan berkaca pada kekuranganku, ini salahku. Aku salah telah memulai semuanya dan kini aku harus menorehkan luka di hatimu. Besok aku berangkat ke Australia untuk kuliah sekaligus menetap di sana.
“Mada, aku… nggak… bisa…” ujarku tercekat. Mada enggan bicara di hadapanku, dia hanya menyodorkan secarik kertas berwarna pink. Tinta pulpen memudar terkena tetesan air mata, akankah tangisan ini juga memudarkan kebahagiaanku?
Raut wajah Mada berubah sedih dan diapun mengguratkan pulpennya pada kertas itu lagi lalu menyerahkannya padaku.
Jangan sedih, Sivia. Taklukkan angkuhnya dunia dengan ketegaranmu, aku tahu kamu bisa. Hubungan kita boleh berhenti di sini tapi cintaku selalu ada untuk kamu. Cinta yang kita jalani begitu indah. Terima kasih untuk kisah kasih di SMA yang aku jalani bersamamu. Aku mencintaimu.
“Kita bisa pacaran jarak jauh, Mada. Aku nggak mau kehilangan kamu,” bujukku. Aku nggak akan melepaskan dia begitu saja. Aku sangat mencintainya. Mada hanya menggeleng dan menulis lagi.
Ini untuk kebaikan Sivia. Kamu nggak mungkin seterusnya bersama orang cacat.
“Nggak Mada,” aku menggeleng. Derai air mata enggan berhenti mengalir. Seketika Mada memelukku erat, aku membalasnya lebih erat seakan tak mau kehilangan.
“Maafkan aghu, Sivia,” bisiknya pelan di telingaku.
Tangisku tenggelam di dadanya. Hari kelulusan itu adalah terakhir kalinya aku mendengar suara Mada sekaligus melihat wajah tampannya. Cintaku yang begitu dalam membuatku tersiksa saat aku harus melepasnya pergi.
*
15 Januari 2014
Delapan tahun telah terlewati, kini aku sedang menghitung hari menuju pernikahan. Namun apa salahnya mengenang sang mantan terindah? Kalau boleh jujur, jauh di lubuk hatiku tersembunyi bayang dirinya. Apa aku berkhianat bila kerinduan itu muncul di sela-sela hubunganku dengan calon suamiku? Hanya rindu bukan ingin memiliki. Paling tidak, memeluknya lagi. Sekali saja.
[1] Tante
[2] Boleh
[3] Pacaran
[4] Punya
[5] Kekurangan
[6] aku
[7] Cinta
[8] kamu